Hukum Di Daerah Perbatasan Provinsi Banten dengan Provinsi Lampung

Standard

Rifqi Muhammad Harrys

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Indonesia

rifqi.m.h@gmail.com

Lampung adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu, Provinsi Lampung merupakan Keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.

Banten adalah sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dulunya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, keduanya dipisahkan sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang.

 Lampung Banten

Gambar 1. Lampung

Provinsi Banten dan Provinsi Lampung terhubung dan berbatasan pada Selat Sunda, sebuah laut yang menghubungkan antara Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Berdasarkan Perda Provinsi Banten No.2 Tahun 2011, daerah yang berada di perbatasan merupakan daerah strategis yang pembangunannya harus diprioritaskan, salah satunya adalah daerah Merak yang merupakan penghubung antara Banten dengan Lampung yang berpotensi sebagai jalur transformasi untuk memajukan perekonomian wilayah Banten. Berdasarkan Perda Provinsi Lampung No. 1 Tahun 2010, perlu dibuatnya jalan provinsi sebagai penghubung antara Provinsi Lampung dengan provinsi lainnya yang berbatasan, salah satunya adalah Provinsi Banten. Pembuatan jalan ini (penghubung Lampung dengan Banten) bukan hanya untuk menghubungkan kedua provinsi ini, tetapi juga untuk menghubungkan Sumatera dengan Jawa yang tentunya akan memengaruhi kondisi perekonomian antara kedua pulau besar tersebut. Selain itu, untuk mengantisipasi tersambungnya Selat Sunda melalui jembatan, dalam Perda ini dijelaskan pula mengenai rencana pengembangan terminal di Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan.

Selat Sunda yang merupakan perbatasan antara Provinsi Lampung dengan Provinsi Banten merupakan daerah strategis untuk perkembangan kedua provinsi tersebut. Hal tersebut disebabkan karena Selat Sunda merupakan jalur transportasi yang strategis bagi perkembangan kedua provinsi tersebut, terutama dalam hal ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan suatu hukum yang mengatur daerah tersebut dari kedua provinsi maupun dari negara agar fasilitas yang tersedia terpelihara dengan baik dan membawa kesejahteraan bagi warga setempat.

Referensi

Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030

Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung Tahun 2010-2030

Hukum-Hukum Laut Nasional

Standard

Perpu No. 4 Tahun 1960

Indonesia berkedaulatan penuh atas Perairan Indonesia, baik kekayaan lautnya, maupun tanah di bawahnya. Perairan Indonesia terdiri dari dua bagian. Pertama adalah perairan pedalaman, yaitu perairan yang berada di dalam garis dasar. Kedua adalah laut wilayah (laut teritorial) Indonesia selebar dua belas (12) mil laut di luar garis dasar dan diukur tegak lurus terhadapnya. Garis dasar adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau terluar wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.

UU No. 1 Tahun 1973

Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah (teritorial) Republik Indonesia (sebagaimana Perpu no. 4 tahun 1960) sampai kedalaman 200 meter atau lebih (jika memungkinkan). Negara memiliki kuasa penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia.

Barang siapa melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan penyelidikan ilmiah sumber-sumber kekayaan lain di Landas Kontinen Indonesia, diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk:

  1. Mencegah terjadinya pencemaran air laut di Landas Kontinen Indonesia dan udara di atasnya
  2. Mencegah meluasnya pencemaran dalam hal terjadi pencemaran (maksudnya adalah apabila terjadi pencemaran)

Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan:

  1. Pertahanan dan keamanan nasional
  2. Perhubungan
  3. Telekomunikasi dan transmisi listrik di bawah laut
  4. Perikanan
  5. Penyelidikan oseanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya
  6. Cagar alam

Pelanggaran terhadap UU no. 1 Tahun 1973 ini (saja) diancam hukuman paling lama enam (6) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Tap MPR VI Tahun 1978

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tentang pengukuhan penyatuan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Juli 1978.

UU No. 5 Tahun !983

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah (teritorial) Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar dua ratus (200) mil laut diukur dari garis pangkal (garis dasar) laut wilayah (teritorial) Indonesia. Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Selama persetujuan yang telah tersebut di atas belum ada dan tidak terapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis sama jarak antara garis-garis pangkal Indonesia dan garis-garis pangkal negara tersebut.

Pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non-hayati dari dasar laut serta tanah di bawahnya. Selain itu, Republik Indonesia juga mempunyai yurisdiksi yang berhubungan dengan:

  1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan , instalasi-instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya
  2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan
  3. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut

Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.

UU No. 17 Tahun 1985

Mengesahkan United Nations Convention the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia bersama seratus belas penandatangan lain di Montego Bay, Jamaica pada 10 Desember 1982.

UU No. 6 Tahun 1996

Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan. Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia yang selebar 12 mil laut dari garis pangkal, perairan kepulauan yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan, dan perairan pedalaman yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia. Panjang garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut , kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut hingga 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

PP No. 61 Tahun 1998

PP ini berisi tentang garis-garis pangkal kepulauan di Laut Natuna ditarik dari garis-garis air rendah pulau-pulau terluar secara rinci. Dengan berlakunya PP ini, maka perairan Indonesia di sekitar Laut Natuna yang semula merupakan laut lepas (mengacu pada Perpu No. 4 Tahun 1960) serta bagian selatannya yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (sesuai UU No. 5 Tahun 1983), diklaim sebagai Perairan Kepulauan Indonesia (sebelah dalam dari garis pangkal) dan Laut Teritorial Indonesia.

PP No. 38 Tahun 2002

Pemerintah menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial tang dilakukan dengan menggunakan:

  • Garis pangkal lurus kepulauan

Yaitu garis lurus yang menggunakan titik-titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan. Panjangnya tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis pangkal lurus kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut hingga 125 mil laut.

  • Garis pangkal biasa

Yaitu garis air rendah sepanjang pantai yang ditetapkan berdasarkan datum hidrografis yang berlaku.

  • Garis pangkal lurus

Yaitu garis yang lurus ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang menonjol dan berseberangan di muka lekukan pantai tersebut. Pada pantai di mana karena terdapat delta atau kondisi alamiah lainnya, garis pantai sangat tidak stabil, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis pangkal lurus.

  • Garis penutup teluk

Yaitu garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang paling menonjol dan berseberangan pada mulut-mulut teluk tersebut. Garis penutup teluk hanya bisa ditarik apabila luas teluk tersebut adalah seluas atau lebih luas daripada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya adalah garis penutup yang ditarik pada mulut teluk tersebut. Apabila pada teluk terdapat pulau-pulau yang membentuk lebih dari satu mulut teluk, maka jumlah panjang garis penutup dari berbagai mulut teluk tersebut maksimum adalah 24 mil laut.

  • Garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala

Garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis lurus sebagai penutup pada muara sungai, atau terusan tersebut.

  • Garis penutup pada pelabuhan

Pada daerah pelabuhan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis-garis lurus sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi bangunan permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem pelabuhan sebagai bagian dari pantai.

Hak Atas Tanah di Indonesia

Standard

  1. SEJARAH

Sebelum Bangsa Indonesia merdeka, sebagian besar hukum agraria, terutama yang dibuat oleh penjajah dari Belanda, dibuat dengan tujuan kepentingan dan keuntungan penjajah. Hukum agraria yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria yang sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum agraria yang ada dan berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa sendiri masih bersifat Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia Belanda di Indonesia terdapat dualisme hukum yang menyangkut Hukum Agraria Barat dan di pihak lain berlaku Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa yang merupakan pelaksanaan politik kolonial konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Politik liberal adalah kebalikannya dari politik konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Prinsip politik liberal adalah tidak adanya campur tangan pemerintah di bidang usaha, swasta diberikan hak untuk mengembangkan usaha dan modalnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena semakin tajamnya kritik yang dialamatkan kepada Pemerintah Belanda karena kebijakan politik agrarianya mendorong dikeluarkannya kebijakan kedua yang disebut Agrarisch Wet.

Secara umum, perjalanan hukum tanah (hak tanah) di Indonesia terbagi dua, yaitu masa sebelum UUPA dan masa setelah UUPA. Pada masa sebelum UUPA, hukum agraria masih memiliki dualisme hukum. Akan tetapi, pada masa setelah UUPA atau setelah UUPA berlaku, masalah tentang dualisme hukum agraria pun teratasi.

  1. JENIS-JENIS HAK ATAS TANAH

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, jenis-jenis hak atas tanah di Indonesia ini terbagi dua sebagai berikut:

  1. Masa sebelum UUPA

Hak-hak atas tanah yang ada pada masa sebelum UUPA ini, terdapat dualisme hak-hak atas tanah, yaitu hukum agraria barat dan hukum agraria adat. Hak-hak yang diatur tersebut antara lain:

1)      Hak Eigendom

Hak Eigendom, atau lengkapnya disebut ” eigendom recht” atau “right of property” dapat diterjemahkan sebagai ” hak milik “, diatur dalam buku II BW ( burgerlijke wetboek) atau KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ).

Hak Eigendom merupakan hak kepemilikan keperdataan atas tanah yang terpenuh, tertinggi yang dapat dipunyai oleh seseorang. Terpenuh karena penguasaan hak atas tanah tersebut bisa berlangsung selamanya, dapat diteruskan atau diwariskan kepada anak cucu. Tertinggi karena hak atas atas tanah ini tidak dibatasi jangka waktu, tidak seperti jenis hak atas tanah yang lain, misalnya hak erfpacht  atau hak opstal.

Hak Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh-penuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak mengganggu hak-hak orang lain; semua itu terkecuali pencabutan eigendom untuk kepentingan umum dengan pembayaran yang layak menurut peraturan peraturan umum.

2)      Hak Erfpacht

Hak Erfpacht adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas benda kepada orang lain. Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan, bahwa suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban memberi upeti tahunan. Disebutkan di dalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun-temurun, banyak diminta untuk keperluan pertanian. Di Jawa dan Madura, hak erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat-tempat kediaman di pedalaman, perkebunan, dan pertanian kecil. Sedangkan di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan, dan pertanian kecil.

3)      Hak Opstal

Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan, atau tanam-tanaman di atas tanah orang lain. Menurut ketentuan Pasal 711 KUH Perdata, hak numpang karang (hak opstal) adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan, dan penanaman di atas pekarangan orang lain.

4)      Hak Gebruik

Hak Gebruik adalah suatu hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya.

Hak Gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya bagi diri dan keluarganya saja. Di samping itu, pemegang hak gebruik ini boleh pula tinggal di atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku haknya itu.

Hak Gebruik ini diatur oleh apa yang telah ditentukan sendiri dalam perjanjian kedua belah pihak. Tapi jika tidak ada perjanjian antara kedua belah pihak, maka berlakulah pasal 821 dan pasal-pasal yang berkaitan dengan hal itu dalam KUH Perdata.

5)      Hak milik & Hak pakai

Hak milik (adat) atas tanah adalah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh perorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pada  dasarnya, pemilik tanah  belum  mempunyai kekuasaan penuh atas tanah yang dimilikinya atau dikuasainya tersebut. Artinya, belum bisa menguasainya secara bebas, karena hak milik ini masih mempunyai fungsi sosial. Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun-menurun.

Hak Pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah tertentu bagi kepentingannya. Hak ini mirip dengan hak  yang  dinikmati  oleh  orang  asing  atau  orang  luar  persekutuan atas  tanah persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan tidak dituntut untuk membayar biaya atau ganti rugi tertentu. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak dalam hukum adat itu berupa ladang.

Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan hak atas tanah adat. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik maupun suku istilah yang digunakan berbeda-beda.

6)      Hak ulayat

Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

2. Masa setelah UUPA

1)   Hak milik

Menurut Pasal 20 UUPA, hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan apabila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.

Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus.

Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.

Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini adalah tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya yaitu selama hak milik ini masih diakui dalam rangka berlakunya UUPA, kecuali dengan ketentuan Pasal 27 UUPA.

Pasal 27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik itu hapus apabila :

– Tanahnya jatuh kepada negara karena:

  1. Pencabutan hak berdasarkan pasal 18
  2. Penyerahan sukarela oleh pemiliknya
  3. Ditelantarkan
  4. Ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2

– Tanahnya musnah

Pada asasnya badan hukum tidak mungkin mempunyai tanah dengan hak milik kecuali ditentukan secara khusus oleh Undang-undang atau peraturan lainnya, seperti yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1973 yaitu:

  1. Bank-bank yang didirikan oleh negara.
  2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958.
  3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah mendengar menteri agama.
  4. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah mendengar menteri sosial.

2)   Hak guna usaha

Sebagaimana tertera pada UUPA, hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, untuk perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.

Hak ini adalah Hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna Perusahaan Pertanian, Perikanan dan Peternakan.

Proses dari hak guna usaha itu sendiri adalah penyerahan tanah oleh pihak pemilik tanah kepada negara untuk kemudian diberikan lagi dengan status hak guna usaha kepada pihak yang berkepentingan. Artinya, untuk membuat status tanah menjadi tanah negara, pihak yang berkepentingan (dalam hal ini pemohon hak guna usaha) haruslah membebaskan tanah tersebut dari pemilik lamanya dengan cara memberikan ganti rugi. Setelah itu barulah tanah tersebut dimohonkan haknya sebagai hak guna usaha.

Terdapat dua kelompok yang dapat mempunyai hak guna usaha, yaitu Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

3)   Hak guna bangunan

Pada UUPA Pasal 35 ayat 1 dijelaskan bahwa hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang hingga paling lama 20 tahun.

Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dijelaskan bahwa hak guna bangunan hanya diperuntukkan bagi warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak guna bangunan tidak diperuntukkan bagi orang asing dan badan hukum asing. Hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul pemegang hak pengelolaan, lalu di daftarkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan.

4)   Hak pakai

Berdasarkan UUPA Pasal 41, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain.

Pada Pasal 42 UUPA dijelaskan bahwa hak pakai dapat diberikan kepada empat kelompok, yaitu Warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia. Hak pakai ini dapat diberikan atas tanah dengan status tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Selain itu, hak pakai juga dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran, atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

5)   Hak sewa untuk bangunan

Dijelaskan pada UUPA Pasal 44, bahwa seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

Subjek hak sewa yaitu, Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, dan badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia.

Berbeda dengan hak guna bangunan yang berasal dari tanah negara ataupun tanah hak milik, di mana si penerima hak harus membayar pemasukan pada Negara ataupun pada pemilik pada awal pemberian hak, maka hak sewa untuk bangunan, pembayaran sewa dapat dilakukan satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu, sebulan atau sesudah tanahnya dipergunakan, serta perjanjian sewa tidak boleh mengandung unsur-unsur pemerasan.

6)   Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan

Pada UUPA Pasal 46 dijelaskan bahwa hak membuka tanah dan memungut hasil hutan merupakan hak yang hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah, tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

  1. KONVERSI HUKUM BARAT DAN ADAT MENJADI HUKUM NASIONAL BERDASARKAN UUPA
  1. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Barat

1)      Hak Eigendom

Aturan konversinya adalah sebagai berikut:

a)      Hak milik

Apabila hak eigendom atas tanah yang ada sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria menjadi hak milik setelah memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam pasal 21.

b)      Hak guna bangunan

Apabila hak eigendom itu kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang di samping kewarganegaraannya asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2, sejak berlakunya Undang-Undang ini menjadi Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun.

c)      Hak pakai

Apabila hak eigendom itu kepunyaan negeri asing yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman, Kepala perwakilan, dan Gedung Kedutaan sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1 yang akan berlangsung selama tanahnya yang dipergunakan untuk keperluan di atas.

d)     Tidak dikonversi/dihapus

Apabila hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal 1 ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.

2)      Hak Erfpacht

Konversinya terbagi menjadi beberapa keadaan:

a)      Hak Erfpacht untuk perusahaan kebun besar

b)      Hak Erfpacht yang sudah habis waktunya

c)      Hak Erfpacht untuk pertanian kecil

d)     Hak Erfpacht untuk perumahan

3)      Hak Gebruik

Hak-hak gebruik sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 sesuai dengan pasal VI ketentuan konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai, sebagaimana dimaksud pasal 41 ayat 1 UUPA.

4)      Hak Opstal

Pasal I tentang ketentuan konversi UUPA menentukan hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada pada mulai berlakunya UUPA, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, paling lama 20 tahun, dengan ketentuan maksimum 20 tahun hak opstal yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 tidak dikonversi. Jadi, seseorang yang tadinya mempunyai hak opstal, dapat mengajukan permohonan hak baru.

2. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak-Hak Indonesia

1)      Hak Erfpacht yang altijddurend (Altyddurende Eefpacht)

Hak erfpacht yang altijddurend merupakan hak Indonesia. Tanahnya bisa berupa tanah bangunan, tapi juga bisa berupa tanah pertanian. Altyddurende Eefpacht ini seperti hak-hak Indonesia lainnya yang sejenis hak milik adat diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA, dan dikonversi menjadi Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan.

2)      Hak Agrarische Kegindom

Seperti halnya hak erfpacht yang alsijdurend, hak agrarische kigendom merupakan hak Indonesia yang tanahnya bisa berupa tanah bangunan tetapi juga berupa tanah pertanian. Hak Agrarische Kegindom ini seperti hak-hak Indonesia lainnya, yang sejenis hak milik, diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA dapat dikonversi menjadi Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan.

3)      Hak Gogolan

Hak gogolan ter bagi menjadi 2 jenis yaitu:

a)      Hak gogolan yang bersifat tetap

Hak gogolan bersifat tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus memunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol itu meninggal dunia, dapat diwariskan tertentu.

b)      Hak gogolan yang bersifat tidak tetap

Hak gogolan yang bersifat tidak tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa.

REFERENSI

elkafilah. (2012, Mei 23). WordPress.com. Diambil kembali dari WordPress.com site: http://elkafilah.wordpress.com/2012/05/23/sejarah-hak-atas-tanah/

Gusman, D. (2012, Oktober 27). Konversi Hak Atas Tanah di IndonesiaMenurut UU No. 5 Tahun 1960. Diambil kembali dari Fakultas Hukum Universitas Andalas: http://fhuk.unand.ac.id/artikel/14/konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no-5-tahun-1960.html

kaharudin3861. (2012, Juni 19). Jenis-Jenis Hak Atas Tanah. Diambil kembali dari Scribd.: http://www.scribd.com/doc/97509934/Jenis-Jenis-Hak-Atas-Tanah